Laman

Selasa, 30 Agustus 2011

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum



Mengucapkan doa Taqabbalallahu Minna Wa Minkum dicontohkan oleh Rasulullah Saw, yang artinya “mudah-mudahan Allah menerima (amal ibadah) kami dan (amal ibadah) kalian”.
Diriwayatkan dari Jubair bin Nufai, dia berkata , “Sahabat-sahabat Nabi saw, jika saling bertemu pada Hari Raya, sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum (Fathul Bari 2:304).
Ibnu Aqil meriwayatkan, Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku pernah bersama Abu Umanah al-Bahili dan lain-lainnya dari kalangan sahabat Nabi saw., maka jika mereka kembali dari melaksanakan Sholat Id, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum (Ibnu Qudamah, Al Mughni 2:259).
Setiap menyambut Idulfitri, kebanyakan kaum Muslim mengirimkan ucapan selamat Lebaran berbunyi ” Taqabalallahu Minna waminkum, shiyamana washiyamakum. Minal aidin wal faidzin”. Ungkapan itu artinya “semoga Allah mengabulkan”. Minaa wa minkum berarti “dari kami dan dari Anda”. Shiyamana wa shiyamakum berarti “puasa kami dan puasa Anda”.
Sedangkan lafadz Minal a’idin wal faidzin merupakan doa yang terpotong, arti secara harfiyahnya adalah “termasuk orang yang kembali dan menang”.

Lafadz itu terpotong, seharusnya ada lafadz tambahan di depannya meski sudah lazim lafadz tambahan itu memang tidak diucapkan. Lengkapnya ja’alanallahu minal a’idin wal faidzin, yang bermakna “semoga Allah menjadi kita termasuk orang yang kembali dan orang yang menang”.
Namun, sering kali orang salah paham, dikiranya lafadz itu merupakan bahasa Arab dari ungkapan “mohon maaf lahir dan batin”. Padahal bukan dan merupakan dua hal yang jauh berbeda.
Lafadz taqabbalallahu minna wa minkum merupakan lafadz doa yang intinya kita saling berdoa agar semua amal kita diterima Allah SWT. Lafadz doa ini adalah lafadz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika kita selesai melewati Ramadhan.

Jadi, yang diajarkan sebenarnya bukan bermaaf-maafan seperti yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan bangsa Indonesia. Tetapi yang lebih ditekankan adalah tahni’ah, yaitu ucapan selamat serta doa agar amal dikabulkan.

Meski tidak diajarkan atau diperintahkan secara khusus, namun bermaaf-maafan dan silaturrahim di hari Idulfitri juga tidak terlarang, boleh-boleh saja, dan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang baik.
Di luar Indonesia, belum tentu ada budaya seperti ini, di mana semua orang sibuk untuk saling mendatangi sekedar bisa berziarah dan silaturrahim, lalu masing-masing saling meminta maaf. Sungguh sebuah tradisi yang baik dan sejalan dengan syariah Islam.

Meski terkadang ada juga bentuk-bentuk yang kurang sejalan dengan Islam, misalnya membakar petasan di lingkungan pemukiman. Tentunya sangat mengganggu dan beresiko musibah kebakaran.
Termasuk juga yang tidak sejalan dengan tuntunan agama adalah bertakbir keliling kota naik truk sambil mengganggu ketertiban berlalu-lintas, apalagi sambil melempar mercon, campur baur laki dan perempuan dan tidak mengindahkan adab dan etika Islam
Wallahu a’lam.

Kamis, 25 Agustus 2011

MESJID RAYA SUMATERA BARAT


Masjid Raya Sumbar Butuh Dana Rp 100 Miliar
Pembangunan Masjid Raya Sumbar berlokasi di Jalan K.H.Ahmad Dahlan, hingga kini masih membutuh dana hingga Rp100 miliar lebih agar dapat dirampungkan hingga tahun 2009.
“Pembangunan masjid raya itu hingga kini masih membutuhkan dana Rp100 miliar dan kita sudah upayakan bantuan dari berbagai pihak termasuk warga Sumbar yang diperantauan,” kata Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, di Padang,
Menurut dia, untuk pembangunan masjid raya itu dibutuhkan dana Rp 210 miliar dan sebanyak Rp100 miliar diantaranya sudah dialokasikan dari APBD Sumbar, masing-masing dari APBD 2007 sebanyak Rp10 miliar, APBD 2008 Rp50 miliar, dan APBD 2009 Rp60 miliar.
Gubernur mengatakan, pihaknya menargetkan pembangunan masjid raya itu bisa rampung tahun 2009 karena merupakan satu kebanggaan masyarakat Minang.
Sebagai daerah yang berfilosofi Adat Basandi Sarak sarak Basandi Kitabullah yang kental nuansa Islam, namun hingga kini kita masih belum memiliki masjid raya yang mampu menampung ratusan jemaah, katanya.
Terkait hal tersebut tahun 2007 sudah dilakukan peletakan batu pertama untuk masjid tersebut dan secara bertahap sudah mengalir bantuan dari berbagai pihak.”Kita sangat berharap partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan pembangunan masjid tersebut,” katanya.Pemda menargetkan 560 tiang pancang Masjid Raya rampung dibangun hingga akhir 2008.
“Proyek pembangunan Masjid Raya ini sedang berjalan, sampai akhir tahun kita targetkan pemancangan 560 tiang selesai,” katanya.
Dalam desain masjid dibangun dengan luas 18.800 m2 diharapkan dapat menampung 6000 jemaah. Dengan total luas masjid beserta fasilitas penunjang seperti food court, area bisnis dan komersial serta lainnya mencapai 30.236 m2.
Tahan Gempa
Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar) yang tengah dibangun ini didesain dengan konstruksi bangunan yang mampu menahan getaran gempa.
Menyikapi kondisi geografis Sumbar yang beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar, maka Masjid Raya Sumbar menggunakan konstruksi yang didesain mampu mengantisipasi getaran gempa kuat, kata Ketua Panitia Pembangunan Masjid Raya Sumbar, H Marlis Rahman di Padang, Senin.
Pembangunan Masjid Raya Sumbar, Sabtu (11/10) ditinjau oleh wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah pejabat pemerintah pusat lainnya.
Masjid dengan daya tampung total 20 ribu jemaah itu dibangun pada lahan seluas 40,98 hektare, sedangkan bangunan utama masjid seluas 18.091 meter persegi dengan dana pembangunan total diperkirakan Rp507,82 miliar.
Terkait konstruksi tahan gempa, menurut Marlis, para konsultan perencanaan mendesain bangunan Masjid Raya Sumbar dengan memperhatikan secara sempurna seluruh ketentuan dalam peraturan Gempa Indonesia terbaru.
Dengan demikian, apabila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan Masjid Raya Sumbar sudah didesain mampu menahan beban gempa tersebut, tambahnya.
Ia menjelaskan, struktur bangunan Masjid Raya Sumbar berupa open frame terbuat dari struktur beton bertulang dan baja untuk menahan beban vertikal dan lateral.
Struktur atap dibuat truss pipa baja disangga empat kolom beton miring setinggi 47 meter dan dua balok beton lengkung dengan mutu K-450. Terkait keresahan psikologis masyarakat terhadap isu bencana gelombang tsunami, pembangunan Masjid Raya Sumbar juga disikapi dengan meninggikan ruang shalat utama setinggi tujuh meter dari permukaan tanah sehingga dapat digunakan untuk lokasi evakuasi jika terjadi tsunami, tambahnya.
Rancangan bangunan masjid yang memberikan keamanan dari bencana itu diharapkan meminimalkan kekhawatiran jemaah ketika di dalam masjid sehingga lebih khusuk beribadah, demikian Marlis Rahman yang juga wakil Gubernur Sumbar itu.

Selasa, 23 Agustus 2011

ZAKAT FITRAH

Zakat Fitrah
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?
Beliau t menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh. Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
2. Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas c:


“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”
Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.1
Beliau t ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya? Bolehkah membayarnya dengan uang?
Beliau t menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’2. Ibnu ‘Umar c berkata: “Nabi r telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.” Ibnu ‘Abbas c berkata: “Nabi r telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”
Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri z: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul r (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”

Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar c: “Dan beliau r memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’. Dan dalam hadits Ibnu Abbas c: “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.”
Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied.
Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat. Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah.
Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini.
Maka yang demikian ini dibolehkan.
(Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)

Hari Raya ‘Iedul Fitri
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t ditanya tentang hukum menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha serta malam 27 Rajab, Nishfu (pertengahan) Sya’ban, dan hari ‘Asyura?
Beliautmenjawab: Tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari-hari ‘Ied seperti ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha selama dalam batas-batas syar’i. Di antaranya seseorang makan dan minum atau yang semisalnya. Telah tsabit (pasti) dari Nabi r bahwa beliau r bersabda dalam salah satu hadits beliau:

“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah U “, yaitu dalam tiga hari setelah ‘Iedul Adha yang barakah. Demikian pula pada hari ‘Ied, kaum muslimin menyembelih dan memakan qurban mereka serta menikmati nikmat Allah atas mereka. Dan juga pada hari ‘Iedul Fitri, tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan selama tidak melampaui batasan syar’i.
Sedangkan menampakkan kegembiraan pada malam 27 Rajab atau Nishfu Sya’ban atau di hari ‘Asyura, maka hal tersebut tidak ada asalnya dan dilarang (merayakannya). Dan apabila diundang untuk merayakannya, hendaknya tidak menghadirinya berdasarkan sabda Nabi r:


“Hati-hatilah kalian terhadap perkara baru (yang diada-adakan), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di an-naar.” Adapun malam 27 Rajab, orang-orang mengatakannya sebagai malam Mi’raj, yaitu malam di-mi’raj-kannya Rasulullah r kepada Allah. Padahal hal ini tidak tsabit (tidak benar) dari sisi sejarah. Dan segala sesuatu yang tidak tsabit maka batil, dan setiap yang dibangun di atas kebatilan maka batil (juga).
Seandainya pun benar bahwa malam Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, maka kita dilarang untuk mengadakan sesuatu yang baru berupa syi’ar-syi’ar ‘Ied ataupun sesuatu dari perkara ibadah, karena hal itu tidak tsabit dari Nabi r dan tidak pula dari shahabatnya. Apabila tidak tsabit dari orang yang di-mi’raj-kan (Nabi r) dan juga tidak tsabit dari shahabatnya, yang mereka lebih utama dalam hal ini dan paling bersemangat terhadap Sunnah beliau r dan syariatnya, maka bagaimana mungkin kita boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada di masa Nabi r, dalam memuliakan hari-hari tersebut dan tidak pula dalam menghidupkannya? Dan sesungguhnya sebagian tabi’in menghidupkannya dengan shalat dan dzikir, bukan dengan makan dan bergembira serta menampakkan syiar-syiar ied.
Adapun hari ‘Asyura, maka Nabi r pernah ditanya tentang puasa pada hari itu, maka beliau menjawab:

“Menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu,” yakni setahun sebelum hari itu. Dan tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied sedikit pun pada hari tersebut. Sebagaimana halnya pada hari tersebut tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied, maka tidak ada pula syi’ar-syi’ar kesedihan pula sedikit pun. Menampakkan kegembiraan atau kesedihan pada hari tersebut merupakan perbuatan yang menyelisihi As Sunnah. Dan tidak diriwayatkan dari Nabi r (mengenai amalan) pada hari itu kecuali puasa, sedangkan beliau r memerintahkan kepada kita untuk berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, untuk menyelisihi Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.
(Diambil dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, juz 16 bab Shalatul ‘Iedain).
1 Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed)
2 Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, berdasarkan ukuran mudd yang dietmukandi reruntuhan di Unaizah, yang terbuat dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,... sampai kepada Zaid bin Tsabit z (shahabat Rasulullah r), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka sekitar 2,250 kg.
Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg) bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum).
Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi. (ed)

Minggu, 14 Agustus 2011

MISTERI ANGKA 4 ROMAWI PADA JAM GADANG

Angka-angka pada Jam Gadang banyak media mengatakan memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.

Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.

Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri.

Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang lainnya.

Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.

Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.

Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika

JAM GADANG

Jam Gadang adalah sebutan bagi sebuah menara jam yang terletak di jantung Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat Jam Gadang adalah sebutan yang diberikan masyarakat Minangkabau kepada bangunan menara jam itu, karena memang menara itu mempunyai jam yang "gadang", atau "jam yang besar" (jam gadang=jam besar; "gadang" berarti besar dalam Bahasa Minangkabau).

Sedemikian fenomenalnya bangunan menara jam bernama Jam Gadang itu pada waktu dibangun, sehingga sejak berdirinya Jam Gadang telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang dijadikan penanda atau markah tanah Kota Bukittinggidan juga sebagai salah satu ikon provinsi Sumatera barat
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sultan Gigi Ameh. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda  kepada Rook Maker, Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dulu. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun.


Denah dasar (bangunan tapak berikut tangga yang menghadap ke arah Pasar Atas) dari Jam Gadang ini adalah 13x4 meter, sedangkan tingginya 26 meter.


Jam Gadang ini bergerak secara mekanik dan terdiri dari empat buah jam/empat muka jam yang menghadap ke empat arah penjuru mata angin dengan setiap muka jam berdiameter 80 cm.

Menara jam ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk pada bagian puncaknya. Pada awalnya puncak menara jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Saat masuk menjajah Indonesia, pemerintahan pendudukan Jepang mengubah puncak itu menjadi berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau

Pembangunan Jam Gadang ini konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Namun hal itu terbayar dengan terkenalnya Jam Gadang ini sebagai markah tanah yang sekaligus menjadi lambang atau ikonKota Bukittinggi. Jam Gadang juga ditetapkan sebagai titik nol Kota Bukittinggi. Renovasi terakhir adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan Pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, dan diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke 262 pada tanggal 22 Desember 2010. 

Ada satu keunikan dari angka-angka Romawi pada muka Jam Gadang ini. Bila penulisan angka Romawi biasanya mencantumkan simbol "IV" untuk melambangkan angka empat romawi, maka Jam Gadang ini bertuliskan angka empat romawi dengan simbol "IIII" (umumnya IV)




Jumat, 12 Agustus 2011

Masjid Raya “SYEKH BURHANUDDIN”

Masjid Raya Syekh Burhanuddin di Padangpariaman, Sumbar.

Dibangun oleh Seorang Mursyid Tarekat
Kehadiran masjid jami ini sangat erat kaitannya dengan sejarah berkembangnya Islam di Sumatra Barat, khususnya di daerah Maninjau. Dan, itu tidak dapat dilepaskan dari peran seorang tokoh penyebar Islam yang paling terkemuka di Ranah Minang yang bernama Syekh Burhanuddin. Ia bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang syekh, suatu gelar kehormatan yang hanya diberikan kepada seorang ulama yang menjadi mursyid (pemimpin, pembimbing) dari suatu aliran tarekat (tharigah). Memang, Syekh Burhanuddin adalah seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, tarekat yang menjadi pegangan ulama-ulama Sumatra, khususnya di Sumatra Barat. Masjid ini didirikan pada tahun 1670 M, dipimpin langsung oleh Syekh Burhanuddin dengan dukungan para ninik mamak pada waktu itu, yaitu Rangkayo Rajo di Hulu, Rangkayo Rajo Sulaiman, Rangkayo Rajo Mangkuto, dan Rangkayo Rajo Massaid. Adapun tanah tempat berdirinya masjid ini adalah wakaf dari seorang bangsawan yang bernama Tuangku Kampung Ibrahim.


surau gadang burhanuddin


Surau Gadang Burhanuddin
Pada awalnya, masjid ini tanpa nama. Masyarakat menyebutnya Masjid Jami karena masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatra Barat. Di Masjid Jami inilah Syekh Burhanuddin mengajar dan sekaligus menggembleng santri-santrinya menjadi juru dakwah (dai) yang tangguh untuk menyebarkan Islam di seluruh pelosok Ranah Minang, bahkan sampai ke Tapanuli Selatan. Setelah ia wafat maka untuk menghormati jasa-jasanya, masyarakat pada waktu itu memberikan nama masjid tersebut dengan nama Masjid Jami Syekh Burhanuddin. Warna tasawuf, terutama yang bersumber dari tarekat Naqsyabandiyah, amat berpengaruh terhadap sistem nilai dan tradisi masyarakat pada waktu itu sehingga upacara-upacara tradisi keagamaan seperti terbunuhnya Imam Husein, cucu Rasulullah saw. (10 Muharram), termasuk tradisi pada bulan Shafar, kerap diadakan di masjid ini.


syech burhanuddin makam

Makam syekh burhanuddin
Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini upacara-upacara tradisi tersebut sudah tidak lagi diadakan. Apalagi setelah kaum muda, suatu istilah yang diberikan kepada kelompok pembaharu keagamaan di Sumatra Barat, berhasil memberi warna dalam gerakan dakwah Islam di Minangkabau. Meskipun begitu, sisa-sisa pengaruh tasawuf belum hilang sama sekali. Terbukti dengan masih adanya segelintir orang yang datang untuk berziarah ke makam Syekh Burhanuddin. Memang untuk para pengikut tarekat di Sumatra Barat, Syekh Burhanuddin dianggap seorang Waliyullah yang memiliki keramat (karomah). Sedangkan, Masjid Jami peninggalannya itu, sejak dibangunnya sampai hari ini telah mengalami 4 kali perbaikan. Dan, seperti dapat yang Anda saksikan hari ini, arsitektur masjid ini adalah perpaduan antara Timur Tengah dan Minangkabau. Memiliki 2 buah kubah yang menjulang ke angkasa, merupakan simbol kejayaan Islam. Sedangkan, dinding dan atapnya yang berwama kebiruan, adalah simbol keakraban masjid dengan lingkungannya.

Biografi Syeikh Burhanuddin

Syeikh Burhanuddin Ulakan ini, adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri dari Aceh, Syeikh Burhanuddin Ulakan inilah orang pertama menyebarkan Thariqat Syathariyah di Minangkabau. Syeikh Burhanuddin Ulakan yang tersebut wafat pada tahun 610 H/1214 M.



Menurut riwayat pula bahwa Syeikh Burhanuddin Ulakan datang bersama dengan Syeikh Abdullah Arif yang menyebarkan agama Islam di Aceh.
Syeikh Burhanuddin pertama datang ke Minangkabau mengajar di Batu Hampar sekitar 10 tahun lamanya. Sesudah itu, dia berpindah ke perkumpulan yang dekat dengan imam Bonjol, beliau mengajar di situ sekitar lima tahun. Kemudian dia meneruskan kegiatan dakwahnya ke Ulakan, Pariaman, mengajar selama 15 tahun. Dilanjutkan pula mengajar di Kuntu, Kampar Kiri, di sana dia mengajar selama 20 tahun, sehingga dia wafat pada 610 H/1214 M.


Diriwayatkan pula bahawa peninggalan-peninggalan Syeikh Burhanuddin Ulakan yang tersebut ialah berupa sebuah stempel yang diperbuat daripada tembaga tulisan Arab, sebilah pedang, kitab Fathul Wahhab karya Syeikh Abi Zakaria al-Ansari dan khutbah Jumaat tulisan tangan dalam bahasa Arab.

PENDIDIKAN
Namanya ketika masih kecil ialah Si Pono, ayahnya bernama Pampak. Ayahnya masih beragama Buddha, namun Si Pono dari Sintuk pergi ke Ulakan, pergi belajar kepada Angku Madinah yang berasal dari Aceh. Pada tahun 1032 H/1622 M atas anjuran gurunya, dia melanjutkan pelajaran agama Islam kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Aceh. Lalu Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri menukar namanya daripada Si Pono menjadi Burhanuddin. Tiga belas tahun lamanya dia belajar kepada ulama yang wali Allah itu. Ketika belajar berteman dengan beberapa orang, di antaranya Datuk Marhum Panjang dari Padang Ganting Tanah Datar, Tarapang dari Kubang Tiga Belas (Solok) dan lain-lain.
Beliau adalah seorang yang sangat patuh kepada gurunya, hal ini pernah diceritakan oleh Dr. Syeikh Haji Jalaluddin dalam salah satu bukunya sebagai berikut di bawah ini, “Dari sehari ke sehari tumbuhlah kasih sayang, takut dan malu kepada Syeikh tersebut. Pada suatu hari Syeikh itu mengunyah- nguyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya terlepas dari tangannya jatuh ke dalam kakus. Yang mana kakus (tandas,pen:) itu sangat dalam, telah dipakai berpuluh-puluh tahun”. Tuan Syeikh berkata: “Siapa antara kalian sebanyak ini sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Sambil untuk mengambil tempat sirih saya yang jatuh ke dalamnya?”.



Ramai murid yang merasa enggan dan malas mengerjakan yang diperintah Syeikh itu. Kemudian Burhanuddin bekerja berjam-jam membersihkan kakus itu sehingga bersih dan tempat kapur sirih pun ditemukan, lalu dibersihkannya dan dipersembahkannya kepada Syeikh tersebut. lalu tuan Syeikh berdoa dengan sepanjang-panjang doa. Selanjutnya Syeikh itu berkata: “Tanganmu ini akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu, orang besar di Sumatera Barat dan muridmu tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia ini. Aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin”.

KEMBALI KE MINANGKABAU
Setelah dia berasa ilmu telah banyak dan telah pula mendapat izinan dari gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, beliau pun kembali ke tempat asalnya. Sebelumnya gurunya berkata, “Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut, malu, patuh kepadaku nanti kamu akan mendapat hikmat kebatinan yakni seolah-olah ruhaniyah saya menjelma kepadamu. Kalau kamu berkata, seolah-olah itu adalah kataku. Kalau kamu mengajar seolah-olah itu adalah pengajaranku. Bahkan terkadang-kadang rupa jasadmu seolah-olah itu adalah jasadku. Kalau kamu sudah begitu rupa mudahlah bagi kamu mengajarkan agama Islam kepada siapa pun juga. itulah yang dikatakan Rabithah Mursyid.






Seseorang yang mendapat Rabithah Mursyid orang itu akan terus mendapat taufik dan hidayah Allah. Dan diberi ilmu hikmah, terbuka rahsia Allah dan berbahagialah orang itu dunia akhirat, insya-Allah. Kita hanya bercerai pada lahir, pada batin kita tidak bercerai,” demikian Dr. Syeikh Haji Jalaluddin yang ditulis dengan gaya tasawuf bersifat propaganda.
Prof. Dr. Hamka menulis dalam bukunya Ayahku bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri kembali ke kampung halamannya pada tahun 1100 H bersamaan tahun 1680M. Sejarah mencatat bahawa beliau meninggal dunia di Ulakan pada 1111 H atau 1691 M, lalu dimashyurkan oranglah namanya dengan “Syeikh Burhanuddin Ulakan”.
Mengenai riwayat hidup yang pernah diterbitkan, yitu buah pena Tuan Guru Haji Harun At-Thubuhi Rafinayani. Bahawa dalam buku kecil itu menyebut Syeikh Burhanuddin itu adalah berasal daripada suku Guci. Buya K.H. Sirajuddin Abbas juga menulis demikian. Terakhir sekali tentang tokoh sufi ini dapat pula dibaca dalam tulisan Drs. Sidi Gazalba yang dimuat dalam buku Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.

KETURUNAN
Menerusi tulisan Dr. Syeikh Haji Jalaluddin, dapat juga disimpulkan keterangan bahawa Syeikh Burhanuddin kembali dari Aceh dengan berjalan kaki. Mula-mula dia sampai ke negeri Tiku, Kabupaten Agam sekarang. Di Tiku itu dia berkahwin dengan seorang perempuan setempat. Dari perkahwinan itu dia mendapat anak lelaki yang bernaman “Sidi Abdullah Faqih”,. Beliau ini kemudian meneruskan ajaran orang tuanya.
Sidi Abdullah Faqih mendapat anak bernama “Sidi Abdul Jabbar”. Syeikh Abdul Jabbar mendapat anak bernama "Sidi Syeikh IIyas”. Sidi Syeikh Ilyas mendapat anak bernama “Sidi Yusni”. Sidi Yusni adalah murid Dr. Syeikh Jalaluddin dan sangat patuh kepada gurunya. Mungkin ayahnya Sidi Ilyas adalah keturunan Syeikh Burhanuddin Ulakan yang pertama mengamalkan Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, kerana sebelumnya semuanya mengamalkan Thariqat Syathariyah. Diketahui pula bahawa Sidi Syeikh Ilyas tersebut adalah cicit Syeikh Burhanuddin Ulakan, beliau inilah baru mempersatukan antara tarekat dengan ilmu pencak silat, sebagai alat mempertahankan diri.
Manakala yang ditulis oleh Dr. Syeikh Jalaluddin tersebut agak berbeda dengan cerita masyarakat, yang meriwayatkan bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan tidak mempunyai zuriat. Diriwayatkan bahawa ketika dia belajar di Aceh pada suatu hari kerana syahwatnya naik, dia telah memukul kemaluannya sendiri, sehingga kemaluannya mengalami kecederaan dan menyebabkan tidak berfungsi lagi untuk melakukan hubungan seks.

TRADISI HARI RABU AKHIR BULAN SAFAR

Hingga kini kubur Syeikh Burhanuddin Ulakan masih diziarahi orang, terutama pada hari Rabu akhir bulan Safar. Dr. Syeikh Haji Jalaluddin selaku Ketua Umum Seumur Hidup P.P.T.I (Persatuan Pembela Thariqat Islam) mengajak seluruh pengikutnya setelah selesai Kongres P.P.T.I yang ke-16 mengadakan ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin di Ulakan.




Semua mereka mengi'tiqadkan bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan adalah seorang Wali Allah yang banyak karamahnya. Kalau bertawassul kepadanya selalu dimustajabkan. Salah satu tradisi yang terjadi di makam di Ulakan itu yang terkenal sampai sekarang ialah Basapa. Tentang ini kita ikuti tulisan Sidi Gazalba, sebagai berikut, “Syeikh Burhanuddin wafat 10 Safar 1111 Hijrah. Kerana 10 Safar itu tidak tentu jatuh pada hari Rabu, maka ziarah ke makam pembangun Islam di Minangkabau itu yang dilakukan serempak hampir dari tiap pelosok Minangkabau, dilakukan dari hari Rabu sesudah 10 Safar itu setiap tahun.
Berziarah ini terkenal dengan sebutan basapa (bersafar) yang dilakukan serempak oleh puluhan ribu orang sebelum perang Pasifik. Maka jalan di antara Pariaman dan Ulakan penuh oleh iringan orang-orang pulang ziarah, yang jumlah panjangnya sampai kira-kira 10 kilometer. Kaum Muda di Minangkabau menolak basapa. demikian menurut Drs. Sidi Gazalba.
Ramai orang menuduh yang melakukan basapa terutamanya terdiri dari golongan tasawuf, lebih-lebih golongan Thariqat Syathariyah. Akan tetapi kalau kita selidiki lebih jauh, bukti dan kenyataannya bukan golongan Syathariyah saja, namun demikian golongan Thariqat Qadiriyah, golongan Thariqat Naqsyabandiyah, juga pengikut Mazhab Syafie bahkan orang-orang yang mengaku berdasarkan al-Quran dan hadis (tegasnya kaum muda) pun tidak kurang pula mengerjakan basapa di kubur Syeikh Burhanuddin di Ulakan itu.
Upacara basapa/bersafar adalah merupakan tradisi nasional kerana dia juga dilakukan di tempat lain di seluruh Nusantara. Penulis belum yakin bahawa dikeranakan Syeikh Burhanuddin itu wafat hari Rabu bulan Safar dijadikan sebab maka terjadinya basapa. Di Kalimantan Barat misalnya, orang bersafar ke kubur Upu Daeng Menambon di Sebukit Raya (di hulu Mempawah). Orang menduga bahawa Upu Daeng Menambon meninggal dunia pada 16 Safar 1174 H, iaitu tepat pada hari Rabu di akhir bulan Safar. Di Tanjung Katung, Singapura, pada zaman dulu ramai orang mandi-mandi Safar di sana, ini diakibatkan dengan meninggalnya siapa? Dan meninggalnya siapa pula jika dikerjakan perkara itu di tempat lain-lainnya?
Sebenarnya dalam kitab-kitab Islam banyak yang menyebut memang ada dinamakan bala pada akhir Safar. Seumpama Syeikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani menyalin perkataan ulama, yang beliau muat dalam kitabnya Al-Bahyatul Mardhiyah, kata beliau, “Kata ulama disebut dalam kitab Al-Jawahir, diturunkan bala pada tiap-tiap tahun 320,000 (tiga ratus dua puluh ribu) bala. Dan sekalian bala pada hari Rabu yang akhir pada bulan Safar. Maka hari itu terlebih payah daripada setahun”. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menulis juga seperti demikian di dalam kitabnya, Jam'ul Fawaid.
Demikian juga ulama-ulama lainnya, baik yang berasal dari dunia Melayu mahu pun bukan. Jelas bahawa memang ada ulama yang mengakui pada hari Rabu akhir Safar itu ada bala yang turun. Bahawa Islam meyakini memang ada yang dinamakan bala, ada yang dinamakan taun, ada yang dinamakan wabak dan sebagainya. Sebaliknya sebagai perimbangannya ada yang dinamakan rahmat, ada yang dinamakan berkat, ada yang dinamakan hidayat dan sebagainya.




Tentang bila Tuhan menurunkan yang tersebut itu tiada siapa yang mengetahuinya. Dalam Islam ada nama-nama yang tersebut itu semua, bahkan telah menjadi keyakinan adanya. Sungguh pun turunnya bala, wabak atau sebaliknya tiada siapa yang mengetahuinya. Namun dalam menyambut hari yang bersejarah bolehlah akhir Safar, Rabunya dimasukkan dalam kategori ini ramai orang membuat kaedah-kaedah baru yang kadang-kadang berlebih-lebihan sifatnya. Selalu pula terjadi bidaah dan khurafat yang dicela oleh Islam itu sendiri.

Sebagai contoh, bersuka ria pada akhir Safar itu dengan melakukan mandi-mandi secara berkelompok, berkumpul lelaki dan perempuan adalah satu pekerjaan bidaah mazmumah yang sangat dilarang oleh syarak. Akan tetapi berdoa minta perlindungan daripada bala atau memohon rahmat atau lainnya adalah diajarkan oleh agama Islam. Meminta sesuatu kepada Allah boleh dilakukan setiap saat baik pada akhir Safar atau waktu lainnya lebih-lebih waktu yang dianggap berkat. Doa-doa dan perbuatan meminum air Safar pun tidak pula dapat dinafikan kerana banyak ulama yang telah menulis wafaq Safar itu di dalam kitab-kitab mereka, yang salahnya adalah perbuatan si jahil yang selalu melakukannya berlebih-lebihan.
Hingga di sini penulis tutup mengenai Syeikh Burhanuddin Ulakan, ulama besar mazhab Syafiie, pengikut fahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah, penyebar Thariqat Syathariyah di daerah Minangkabau yang telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk Islam semata-mata bukan kepentingan lainnya. Usaha-usahanya belakang hari akan diikuti oleh ulama-ulama yang berasal dari Sumatera Barat secara berantai yang tiada akan putus-putusnya hingga waktu sekarang.
Kita mengenali nama-nama popular yang berasal dari Minangkabau di antaranya ialah; Syeikh Ismail bin Abdullah Minangkabau, Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Latif Minangkabau, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syeikh Jamil Jaho, Dr. Syeikh Haji Jalaluddin, Syeikh Jamil Jambek, Dr. Abdul Malik Amrullah, Kiayi Haji Sirajuddin Abbas, Prof. Dr. Hamka dan ramai lagi.

Sumber : ulama-nusantara-baru.blogspot.com

Kamis, 11 Agustus 2011

ISTILAH PULANG BASAMO

“Sajauh-jauh tabang bangau,
suruiknyo ka kubangan juo.

Sajauh-jauh bujang marantau,
pulangnyo ka kampuang juo..”.

'Tradisi Minang itu untuk Lebaran hampir sama pada umumnya dengan suku lain di Indonesia.  Secara umum ya. Itu ada ajang silahturahmi kemudian ada ajang kumpul keluarga besar. Tapi yang paling menarik dari nuansa Ramadhan bagi orang Minang ketika menjelang satu syawal itu adalah Pulang Basamo.

Pulang Basamo yaitu pulang bersama. Jadi keluarga besar atau keluarga dekat di Jakarta atau di daerah lainnya itu ada kepengurusan atau berhimpun dalam sebuah Kampung asal. Biasanya, orang-orang Minang yang di rantau,  memiliki tradisi ketika menjelang 1 syawal yaitu Pulang Basamo. Biasanya Urang Minang melakukannya dengan konvoi, kendaraan bermotor, roda dua maupun roda empat, atau pun sekarang jalur Udara bisa di anggap pulang basamo,tapi tidak seindah menempuh jalur Darat.

”Orang Minang Pulang Basamo itu kalau mengukur jalan darat bisa memelan waktu 2 hari 1 malam biasanya masih ada 1 hari untuk beristirahat baru keesokan harinya Sholat Ied bersama-sama pas sampai di tempat tujuan seperti itu. Tradisi memaafkan ada. Itu dia Pulang Basamo juga sebagai mediator ajang silahturahmi bagi keluarga besar karena mereka sudah lama hidup di rantau bertahun-tahun lamanya dan pulang kekampung halaman juga jarang-jarang. Saling memaafkan, secara khusus tidak ada hanya saja silahturahmi sama keluarga tpi juga dengan teman sejawat.

"Ketika sampai di tempat tujuan, orang Minang rindu dengan hal-hal seperti makanannya, kulinernya. Biasanya para perantau Minang hunting pada mencari Makanan seperti es cendol durian, trus ada keripik balado, atau mungkin berkunjung ke tempat-tempat wisata di Minang. Bukan hanya di kota Padang, tapi juga di Bukittinggi ada seperti Jam Gadang. Kemudian di kota Padangnya, biasanya keluarga Minang ini menghabiskan waktunya di pantai Padang atau di Teluk Bayur, kita dapat melihat suasana pantai

Meskipun perjalanan menuju kampung halaman cukup jauh dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, keinginan para perantau ketika Hari Raya Idul Fitri hanya satu yakni bertemu sanak saudara untuk silahturahmi dan saling bermaafkan

Senin, 08 Agustus 2011

ZIARAH KE MAKAM BUNG HATTA DAN BUYA HAMKA

Bangsa yg besar adalah bangsa yg tidak melupakan jasa pahlawan. sungguh kata bijak sederhana tapi dalam akan makna yg terkandung di dalamnya. Ranah Minang banyak menghasilkan sejarahawan-sejaharawan yg di kenal baik si Indonesia bahkan terkenal sampai ke luar negeri.Betul diantara Pahlawan Nasional asal Ranah Minang adalah Bung Hatta dan Buya Hamka
Namun setelah para "syhuhada" tersebut tiada apakah anak dan cucunya mengenal mengenal beliau-beliau ini. Saya mau bertanya pada hati kecil pembaca....tahukan dimana letak Pusara Para pahlawan asal sumbar itu sekarang?? mungkin diantara ada yg tahu tapi ada juga yg tidak tahu.




TPU Tanah Kusir
Jl. Bintaro Raya
Jakarta Selatan, DKI Jakarta
disinilah Bung Hatta dan Buya Hamka beristirahat terakhir

Mohammad Hatta
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock (kini Bukittinggi), Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.









Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.



keberadaan kedua makam ini memang berada di satu komplek pemakaman tapi letaknya terpisah jadi
Kalau ado diantaro dunsanak yg sempat main ka Jakarta Tidak ada salahnya singgah ke Pusaro urang kampuang awak ko

Sabtu, 06 Agustus 2011

SEJARAH KOTA PADANG

Image  













Kota Padang adalah salah satu Kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut sumber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang keras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera.


          Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu Pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.

           Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada Tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari Pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.
Selanjutnya :
7 Agustus 1669,
puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir kota Padang.

20 Mei 1784
Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur. 

31 Desember 1799.
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.

1 Maret 1906.
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.

9 Maret 1950.
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.

15 Agustus 1950.
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang.

29 Mei 1958.
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975
Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.*

Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 Kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan otonomi daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka jumlah Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.

sumber.padang.go.id

Jumat, 05 Agustus 2011

Gunung Marapi Pasca Gempa (04 Agustus 2011)

Gunung Marapi (2.891 meter dpl) kembali meningkatkan aktivitasnya pasca gempa kemarin pagi.Status Marapi langsung dinaikkan dari normal (level I) menjadi waspada (level II). Dari kejauhan tampak gumpalan abu yang menjulang tinggi dan kemudian menyebar ditiup angin ke arah Barat Laut. diharapkan untuk warga penduduk di sekitar lereng Marapi, seperti di kawasan Batu Palano, Sungai Puar, Lasi (Agam), Koto Baru, Pandai Sikek, Koto Laweh, Aie Angek, Penyalaian, Paninjauan (Tanah Datar) kewapadaannya terhadap kemungkinan terburuk terhadap peningkatan aktifitas Gunung aktif di Sumatera Barat ini


Dari pantauan kami di lapangan Gunung Marapi juga mengeluarkan abu, persis seperti yang terjadi Selasa pagi. Kendati demikian, warga yang bermukim di lereng gunung tersebut tidak memperlihatkan tanda-tanda cemas atau akan mengungsi. Mereka tetap menjalani aktifitas seperti biasa. Namun menurut Kaban Kesbang Linmas, Martiaswanto Dt Maruhum, berdasarkan informasi BMKG, status Gunung Marapi dalam keadaan aktif normal. Belum ada hal-hal yang mengkhawatirkan. Namun penduduk pada radius 3 Km dari puncak gunung Marapi diminta waspada.
Daerah yang dipenuhi debu itu antara lain Sicincin, Padangpanjang, dan Koto Baru. Pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menghimbau masyarakat waspada dengan ditingkatkannya status Gunung Marapi. Pendakian ke gunung Marapi pun dinyatakan telah ditutup.
Pusat Vulkanologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sumbar mencatat, hingga pukul 14.30 WIB terjadi sembilan kali letusan vulkanis dan 9 kali gempa tremor.
“Karena arah angin bertiup arah ke Barat Laut, kawasan Kabupaten Padang Pariaman serta Kota Pariaman dan sekitar masih akan berpotensi terjadi hujan abu,” kata Ujang, analis Pusat Vulkanologi BMKG.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar mengimbau warga yang tinggal di kawasan Marapi mengenakan masker jika akan beraktivitas di luar rumah.

Senin, 01 Agustus 2011

PERISTIWA BALIMAU PADA TANGGAL 31 JULI 2011

2 TEWAS, 2 LUKA-LUKA
Tradisi balimau yang bagi sebagian masyarakat dikaitkan dengan menyambut Ramadan. Lubuak Minturun dan Batang Kuranji menelan dua nyawa manusia. Perlu redefinisi tentang balimau itu?
Jauh-jauh hari, banyak pihak mengimbau tradisi balimau yang telah menjadi tradisi di tengah masyarakat, tak perlu dilakukan secara berlebihan. Namun imbauan itu tak demikian direspons.
Euforia balimau sambut bulan suci Ramadan, Minggu (31/7), yang sebagian besar dilakukan warga di tempat pemandian berupa sungai, pantai, water boom, tabek, danau, dan lain sebagainya, akhirnya menelan korban jiwa.
Kali ini ritual balimau itu menewaskan dua bocah yang tenggelam saat mandi-mandi di lokasi yang berbeda dan dua korban kecelakaan mengalami luka-luka. Kejadian tersebut terjadi di beberapa lokasi di Kota Padang, Minggu.
Dua bocah malang yang tewas kehabisan oksigen itu Natasya Elina, (13), warga Lubuk
Buaya, Keca­matan Koto Tangah dan Fitonur Azizi, (9), warga Kayu Gadang, Kecamatan Kuranji. Ke­duanya menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Siti Rahma, Padang.
Sementara itu, kecelakaan yang terjadi di wilayah By Pass, Kota Padang dialami Rio (21), warga Belimbing dan Us (25), warga Air Pacah. Keduanya  dirawat di Rumah Sakit Siti Rahma karena mengalami luka berat. Motor mereka berta­brakan dengan motor lainnya.
Saat di rumah sakit terlihat kedua korban ini terbaring meringis menahan sakit. Tampak bagian pelipis sebelah kanan dan mata Rio mengalami bengkak di sebelah kanan. Sementara Us luka di kepala bagian belakang sehingga men­dapatkan beberapa jahitan.
Tenggelam
Dari keterangan Udin (30), saksi ma­ta tewasnya Natasya mengatakan, sa­at bersama rekannya mandi di ka­wasan endungan lama tidak jauh dari SMP 16 Padang, Balai Gadang Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tangah, sekitar pukul 17.15 WIB, kemudian ia mendengar berteriak meminta tolong dari beberapa orang warga.
Udin bersama dengan ma­sya­rakat sekitar berhamburan menolong dan korban berhasil dikeluarkan dari air. Kemudian Natasya langsung dibawa ke Rumah Sakit Siti Rahma dengan menggunakan sepeda motor.
“Karena di lokasi ini sudah macet panjang. Tapi saat tiba di rumah sakit, Natasya sudah tewas,” kata Udin di rumah sakit kepada Haluan.
Sementara itu, sekitar 15 menit setelah kepergian Natasya, Ajiji salah seorang bocah laki-laki menyusul Natasya ke alam baka. Ajiji juga tewas saat menuju ke rumah sakit yang sama. Ajiji tewas saat mandi-mandi di kawasan Jembatan Kuranji, Padang. Kedua korban tewas tersebut telah dibawa ke rumah masing-masing untuk dikebumikan.
Tumpah Ruah di Pemandian Lubuak Minturun
Dari pantauan Haluan di kawasan Lubuk Minturun, seluruh lokasi pemandian menjadi lautan manusia. Tidak hanya berasal dari Kota Padang, tetapi sejumlah pengunjung mengaku datang dari luar Kota Padang, seperti dari Kabupaten Padang Pariaman dan Bukittinggi.
Lubuk Minturun sebagai salah satu kawasan wisata Kota Padang ini mulai didatangi warga semenjak pukul 13.30. Puncak lautan manusia itu terjadi antara pukul 15.30 hingga pukul 18.00.
Puncak keramaian tersebut tidak hanya terjadi di kawasan pemandian. Tapi di sepanjang jalan Lubuk Minturun menuju lokasi pemandian juga terimbas macet panjang. Jalan yang sempit membuat kendaraan roda dua dan roda empat hanya bisa beringsut. Diperkirakan kemacetan itu mencapai tiga kilometer.
Disisi lain, sebagian besar warga setempat ikut ketiban rezeki, baik yang menjadi tukang parkir, menjaga pintu gerbang pemandian, hingga berdagang di kawasan itu. Untuk tarif parkir, rata-rata tiap kendaraan sepeda motor dipatok Rp2 ribu hingga Rp3 ribu, sedangkan untuk mobil mencapai Rp4 ribu hingga Rp10 ribu.
Panen uang juga dirasakan oleh penjaga gerbang pemandian. Lubuk Minturun memiliki  belasan titik pemandian. Untuk bisa masuk ke kawasan pemandian, pengunjung dikenakan biaya antara Rp2 ribu hingga Rp5 ribu per orang, tanpa diberi tiket masuk.
Jika pada tahun lalu pengunjung bebas melompat dan beratraksi, namun kali ini tempat itu dijaga oleh petugas Tim SAR dari Badan Pe­nang­gulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, dan petugas ini melarang pengunjung untuk melompat dari ketinggian, dengan alasan menjaga keamanan dan keselamatan pengunjung yang lagi mandi di bawah.
Meski dilarang, namun sejumlah pengunjung ada juga yang memban­del dan tetap melompat sambil berekspresi ceria.
Tidak hanya Lubuk Minturun yang dipadati pengunjung, tetapi sebagain besar lokasi pemandian di Kota Padang juga dipenuhi warga, seperti di pemandian Kecamatan Pauh, Kuranji dan yang lainnya. Bahkan ada juga sejumlah warga yang balimau di kawasan Pantai Padang dan Pantai Purus Padang.
Balimau, Danau Singkarak Ramai Dikunjungi