Laman

Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Agustus 2011

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum



Mengucapkan doa Taqabbalallahu Minna Wa Minkum dicontohkan oleh Rasulullah Saw, yang artinya “mudah-mudahan Allah menerima (amal ibadah) kami dan (amal ibadah) kalian”.
Diriwayatkan dari Jubair bin Nufai, dia berkata , “Sahabat-sahabat Nabi saw, jika saling bertemu pada Hari Raya, sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum (Fathul Bari 2:304).
Ibnu Aqil meriwayatkan, Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku pernah bersama Abu Umanah al-Bahili dan lain-lainnya dari kalangan sahabat Nabi saw., maka jika mereka kembali dari melaksanakan Sholat Id, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum (Ibnu Qudamah, Al Mughni 2:259).
Setiap menyambut Idulfitri, kebanyakan kaum Muslim mengirimkan ucapan selamat Lebaran berbunyi ” Taqabalallahu Minna waminkum, shiyamana washiyamakum. Minal aidin wal faidzin”. Ungkapan itu artinya “semoga Allah mengabulkan”. Minaa wa minkum berarti “dari kami dan dari Anda”. Shiyamana wa shiyamakum berarti “puasa kami dan puasa Anda”.
Sedangkan lafadz Minal a’idin wal faidzin merupakan doa yang terpotong, arti secara harfiyahnya adalah “termasuk orang yang kembali dan menang”.

Lafadz itu terpotong, seharusnya ada lafadz tambahan di depannya meski sudah lazim lafadz tambahan itu memang tidak diucapkan. Lengkapnya ja’alanallahu minal a’idin wal faidzin, yang bermakna “semoga Allah menjadi kita termasuk orang yang kembali dan orang yang menang”.
Namun, sering kali orang salah paham, dikiranya lafadz itu merupakan bahasa Arab dari ungkapan “mohon maaf lahir dan batin”. Padahal bukan dan merupakan dua hal yang jauh berbeda.
Lafadz taqabbalallahu minna wa minkum merupakan lafadz doa yang intinya kita saling berdoa agar semua amal kita diterima Allah SWT. Lafadz doa ini adalah lafadz yang diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika kita selesai melewati Ramadhan.

Jadi, yang diajarkan sebenarnya bukan bermaaf-maafan seperti yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan bangsa Indonesia. Tetapi yang lebih ditekankan adalah tahni’ah, yaitu ucapan selamat serta doa agar amal dikabulkan.

Meski tidak diajarkan atau diperintahkan secara khusus, namun bermaaf-maafan dan silaturrahim di hari Idulfitri juga tidak terlarang, boleh-boleh saja, dan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang baik.
Di luar Indonesia, belum tentu ada budaya seperti ini, di mana semua orang sibuk untuk saling mendatangi sekedar bisa berziarah dan silaturrahim, lalu masing-masing saling meminta maaf. Sungguh sebuah tradisi yang baik dan sejalan dengan syariah Islam.

Meski terkadang ada juga bentuk-bentuk yang kurang sejalan dengan Islam, misalnya membakar petasan di lingkungan pemukiman. Tentunya sangat mengganggu dan beresiko musibah kebakaran.
Termasuk juga yang tidak sejalan dengan tuntunan agama adalah bertakbir keliling kota naik truk sambil mengganggu ketertiban berlalu-lintas, apalagi sambil melempar mercon, campur baur laki dan perempuan dan tidak mengindahkan adab dan etika Islam
Wallahu a’lam.

Selasa, 23 Agustus 2011

ZAKAT FITRAH

Zakat Fitrah
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan?
Beliau t menjawab: Kata zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh. Berkaitan dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
1. Waktu yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
2. Waktu yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas c:


“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”
Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.1
Beliau t ditanya: Kapankah waktu mengeluarkan zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya? Bolehkah membayarnya dengan uang?
Beliau t menjawab: Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’2. Ibnu ‘Umar c berkata: “Nabi r telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum.” Ibnu ‘Abbas c berkata: “Nabi r telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”
Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau aqith (susu yang dikeringkan). Abu Sa’id Al-Khudri z: “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul r (seukuran) satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”

Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar c: “Dan beliau r memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’. Dan dalam hadits Ibnu Abbas c: “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.”
Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied.
Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat. Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah dari zakat fitrah.
Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini.
Maka yang demikian ini dibolehkan.
(Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)

Hari Raya ‘Iedul Fitri
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t ditanya tentang hukum menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha serta malam 27 Rajab, Nishfu (pertengahan) Sya’ban, dan hari ‘Asyura?
Beliautmenjawab: Tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari-hari ‘Ied seperti ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha selama dalam batas-batas syar’i. Di antaranya seseorang makan dan minum atau yang semisalnya. Telah tsabit (pasti) dari Nabi r bahwa beliau r bersabda dalam salah satu hadits beliau:

“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah U “, yaitu dalam tiga hari setelah ‘Iedul Adha yang barakah. Demikian pula pada hari ‘Ied, kaum muslimin menyembelih dan memakan qurban mereka serta menikmati nikmat Allah atas mereka. Dan juga pada hari ‘Iedul Fitri, tidak mengapa menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan selama tidak melampaui batasan syar’i.
Sedangkan menampakkan kegembiraan pada malam 27 Rajab atau Nishfu Sya’ban atau di hari ‘Asyura, maka hal tersebut tidak ada asalnya dan dilarang (merayakannya). Dan apabila diundang untuk merayakannya, hendaknya tidak menghadirinya berdasarkan sabda Nabi r:


“Hati-hatilah kalian terhadap perkara baru (yang diada-adakan), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di an-naar.” Adapun malam 27 Rajab, orang-orang mengatakannya sebagai malam Mi’raj, yaitu malam di-mi’raj-kannya Rasulullah r kepada Allah. Padahal hal ini tidak tsabit (tidak benar) dari sisi sejarah. Dan segala sesuatu yang tidak tsabit maka batil, dan setiap yang dibangun di atas kebatilan maka batil (juga).
Seandainya pun benar bahwa malam Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, maka kita dilarang untuk mengadakan sesuatu yang baru berupa syi’ar-syi’ar ‘Ied ataupun sesuatu dari perkara ibadah, karena hal itu tidak tsabit dari Nabi r dan tidak pula dari shahabatnya. Apabila tidak tsabit dari orang yang di-mi’raj-kan (Nabi r) dan juga tidak tsabit dari shahabatnya, yang mereka lebih utama dalam hal ini dan paling bersemangat terhadap Sunnah beliau r dan syariatnya, maka bagaimana mungkin kita boleh mengada-adakan sesuatu yang tidak ada di masa Nabi r, dalam memuliakan hari-hari tersebut dan tidak pula dalam menghidupkannya? Dan sesungguhnya sebagian tabi’in menghidupkannya dengan shalat dan dzikir, bukan dengan makan dan bergembira serta menampakkan syiar-syiar ied.
Adapun hari ‘Asyura, maka Nabi r pernah ditanya tentang puasa pada hari itu, maka beliau menjawab:

“Menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu,” yakni setahun sebelum hari itu. Dan tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied sedikit pun pada hari tersebut. Sebagaimana halnya pada hari tersebut tidak ada syi’ar-syi’ar ‘Ied, maka tidak ada pula syi’ar-syi’ar kesedihan pula sedikit pun. Menampakkan kegembiraan atau kesedihan pada hari tersebut merupakan perbuatan yang menyelisihi As Sunnah. Dan tidak diriwayatkan dari Nabi r (mengenai amalan) pada hari itu kecuali puasa, sedangkan beliau r memerintahkan kepada kita untuk berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, untuk menyelisihi Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.
(Diambil dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, juz 16 bab Shalatul ‘Iedain).
1 Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed)
2 Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, berdasarkan ukuran mudd yang dietmukandi reruntuhan di Unaizah, yang terbuat dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,... sampai kepada Zaid bin Tsabit z (shahabat Rasulullah r), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka sekitar 2,250 kg.
Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg) bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum).
Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi. (ed)