Rasulullah bersabda:
“Artinya : Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa.” (H.R. Muslim)
Bulan Ramadhan telah lewat, namun tidak ada kata berhenti untuk berbuat kebaikan. Di bulan Syawal ini, Rasulullah memerintahkan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pahala agar berpuasa selama 6 hari. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila dibulan yang baik ini, kita melepaskan begitu saja kesempatan yang ada di depan mata.
Cara paling utama dalam mengerjakan puasa 6 hari Syawal adalah dengan memulai puasa sejak hari kedua bulan Syawal selama 6 hari berturut-turut. Karena hal tersebut termasuk bersegera dalam berbuat kebaikan. Namun tidak mengapa kita mengerjakannya secara berselang-selang/ tidak berurutan.
Cara berpuasa enam hari di bulan Syawwal
Agar keutamaan puasa enam hari di bulan Syawaal bisa diraih maka ada dua hal yang hendaknya diketahui
Pertama : Hendaknya puasa enam hari ini dikerjakan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan, maka jika ada hutang puasa di bulan Ramadhan maka hendaknya diqodho terlebih dahulu. Maka tidak disyari’atkan puasa enam hari di bulan Syawwal sebelum mengqodho hutang puasa Ramdhannya.
Hal ini karena dalam lafal hadits Nabi mengatakan
“Barangsiapa yang berpuasa Ramdhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan syawal maka seperti puasa sepanjang masa”
Dan kalimat (ثُمَّ) yang atrinya “Kemudian” menunjukan akan adanya tertib “urutan”. Jadi puasa enam hari di bulan Syawaal tidaklah dikerjakan kecuali setelah selesai mengerjakan puasa bulan Ramadhan. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin 20/18)
Bahkan sebagian ulama memandang jika seseorang berbuka puasa di bulan Ramadhan tanpa udzur maka tidak disyari’atkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
Ar-Romli berkata, “banyak ulama yang berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak berpuasa (penuh) di bulan Ramadhan karena ada udzur atau karena safar, atau karena masih kecil (belum baligh) atau karena gila atau karena kafir, maka tidak disunnahkan baginya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Abu Zur’ah berkata, “Namun yang benar tidaklah demikian. Bahkan ia tetap mendapatkan asal pahala puasa enam hari –meskipun tidak mendapatkan seperti pahala yang disebutkan di hadits karena pahala tersebut diperoleh jika telah berpuasa Ramadhan secara penuh. Dan jika ia berbuka puasa di bulan Ramadhan karena melanggar (tanpa udzur) maka haram baginya untuk puasa enam hari di bulan Syawwal” (Nihaayatul Muhtaaj 3/208)
Kedua : Tidak mengapa dikerjakan secara berurutan atau terpisah-pisah.
Ibnu Qudamah berkata, “Tidak ada bedanya antara dikerjakannya puasa enam hari ini secara berurutan atau secara terpisah-pisah, baik di awal bulan Syawwal ataukah di akhir bulan, karena hadits datang secara mutlaq” (Al-Mughni 4/440)
Meskipun sebagian ulama memandang lebih utama dikerjakan puasa enam hari tersebut secara berurutan dan langsung segera setelah ‘iedul fithri karena hal ini merupakan bentuk kesegeraan dalam beramal sholeh, dan juga jika diakhirkan akan dikawatirkan timbulnya halangan-halangan (lihat Haasyiyah I’aantut Tholibiin 2/268, Mughniil Muhtaaj 1/448, dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin 20/18 )
Khilaf Ulama
Para ulama telah berselisih apakah orang yang melaksanakan puasa enam hari di selain bulan syawwal karena udzur atau karena hal yang lain juga akan mendapatkan keutamaan yang sama seperti jika dikerjakan di bulan syawwal?
Pendapat pertama : Keutamaan puasa syawwal bisa diperoleh dengan berpuasa enam hari tersebut di bulan syawwal dan juga di bulan-bulan yang lainnya setelah syawwal, dan pahalanya tetap sama. Dan ini adalah madzhab Malikiah.
Adapun penyebutan bulan syawwal dalam hadits dibawakan pada makna
Pertama : hanya untuk meringankan dalam berpuasa.
Al-Qoroofi berkata, “Syari’at menentukan puasa enam hari dari bulan Syawwal untuk keringanan bagi mukallaf karena masih dekat dengan puasa (bulan Ramadhan). Namun tujuan tercapai meskipun puasanya di selain bulan Syawwal” (Adz-Dzakhiiroh 3/530)
Berkata Mahmud ‘Ulaisy, “Pengkhususan enam hari dari bulan Syawwal hanyalah untuk meringankan dan memudahkan karena ringannya seseroang berpuasa di bulan Syawwal karena sudah kebiasaan berpuasa di bulan Ramadhan” (Minahul Jalil Syarh Mukhtasor Sayyid Kholil 2/121)
Kedua : Penyebutan Syawaal hanya sebagai contoh saja, karena maksudnya adalah puasa enam hari seperti puasa dua bulan, kapan saja enam hari tersebut dilakukan.
Ibnul ‘Arobi berkata, “Meskipun seandainya puasa enam hari dikerjakan di selain bulan Syawwal maka hukumnya sama. Nabi menyebutkan bulan Syawwal bukan untuk penentuan waktu… akan tetapi hanya sebagai contoh saja” (Ahkaamul Qur’an 2/321)
Pendapat kedua : Barangsiapa yang berudzur sehingga tidak mampu untuk mengerjakan puasa enam hari di bulan Syawwal maka boleh baginya untuk mengqodhonya di bulan Dzulqo’dah, akan tetapi pahalanya lebih sedikit. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.
Ad-Dimyaathi berkata, “Sabda Nabi “Seperti puasa sepanjang tahun”, maksudnya adalah seperti pahala puasa wajib sepanjang tahun. Kalau maksudnya bukan demikian maka tidak ada keistimewaan puasa enam hari di bulan Syawwal, karena barangsiapa setelah berpuasa Ramadhan lalu berpuasa enam hari di selain bulan Syawaal maka dia tetap akan mendapatkan ganjaran puasa sepanjang tahun, karena setiap kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.
Intinya, barangsiapa yang setiap tahun berpuasa enam hari di bulan syawwal beserta puasa bulan Ramdhan maka dia seperti berpuasa wajib sepanjang masa… dan barang siapa yang berpuasa enam hari di selain bulan Syawwal maka seperti puasa sunnah sepanjang masa” (Haasyiyah I’aanatut Thoolibiin 2/268)
Pendapat ketiga : Tidak diperoleh pahala puasa setahun kecuali bagi orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Ini adalah madzhab Hanabilah.
Berkata Al-Bahuuti, “Dan tidak diperoleh fadhilah (keutamaan) puasa enam hari tersebut jika dikerjakan di selain bulan Syawwal karena dzohirnya hadits-hadits” (Kasyful Qinaa’ 2/159)
Kesimpulan : Para ulama berbeda pendapat tentang apakah diperbolehkan melaksanakan puasa enam hari diselain bulan Syawaal dengan tetap mendapatkan keutamaannya?.
Namun barangsiapa yang hanya bisa puasa tiga hari –misalnya- di bulan Syawaal dan sisanya dia qodho di bulan Dzulqo’dah, atau sama sekali tidak bisa mengejakan keenam harinya kecuali di bulan Dzulqo’dah karena ada udzur, maka diharapkan ia juga mendapatkan pahala dan keutamaan puasa selama setahun penuh.
Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Kita katakan kepada orang yang wajib mengqodho puasa bulan Ramadhan, “Qodho’lah puasa Ramadhanmu terlebih dahulu lalu kemudian berpuasalah enam hari di bulan Syawwal !!”.
Jika bulan Syawwal telah berakhir sebelum selesai berpuasa enam hari, maka ia tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawwal kecuali jika dikarenakan adanya udzur sehingga ia mengakhirkan pelaksanaan puasa Syawaal di luar bulan Syawwal” (lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin 20/18)
Peringatan 1
Sebagian orang memandang bahwa puasa enam hari di bulan Syawwal adalah bid’ah. Mereka berdalil dengan perkataan Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththo’ (1/311) tentang puasa enam hari setelah ‘iidul fitri : “Aku tidak melihat seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan ahli fiqh yang berpuasa enam hari tersebut. Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorangpun dari kalangan salaf, dan sesungguhnya ahlul ilmi membenci hal ini, mereka kawatir hal ini merupakan bid’ah dan mereka khawatir orang-orang yang jahil akan mengikutkan puasa yang bukan bagian dari puasa Ramadhan kepada puasa Ramadhan”
Para ulama mengomentari perkataan Imam Malik ini untuk menjawab maksud dari perkataan Imam Malik ini.
Diantara komentar mereka adalah
Pertama : Bisa jadi hadits tentang puasa enam hari di bulan Syawwal ini tidak sampai kepada Imam Malik. Ibnu Abdil Barr berkata, “Mungkin saja Imam Malik tidak mengetahui hadits ini. Kalau seandainya ia mengetahui hadits ini tentu dia akan memandang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan Syawwal” ( Al-Istidzkaar 3/380). Kemungkinan inilah yang dikuatkan oleh As-Syinqithi dalam Adhwaaul Bayaan (7/363) karena hal ini merupakan dzohir dari perkataan Imam Malik “Dan tidak sampai hal ini kepadaku dari seorangpun dari kalangan salaf “.
Kedua : Maksud dari Imam Malik bukanlah membid’ahkan puasa enam hari di bulan Syawwal, akan tetapi beliau tetap memandang disyari’atkannya puasa enam hari di bulan Syawaal hanya saja beliau khawatir kalau dikerjakan puasa enam hari di bulan Syawwal maka orang-orang yang bodoh akan menyangka bahwa puasa enam hari tersebut termasuk rangkaian dari puasa bulan Ramdhan (lihat Al-Istidzkaar 3/379)
Peringatan 2 :
Sebagian orang memahami bahwa hadits ini menunjukan akan disyari’atkannya puasa setiap hari selama setahun penuh (365 hari), karena Rasulullah menyamakan orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan dan ditambah enam hari di bulan syawwal sama pahalanya seperti puasa selama setahun penuh.
Hal ini tidaklah tepat dari beberapa sisi;
Pertama : Hal ini tidaklah merupakan kelaziman, perumpamaan dengan sesuatu perkara yang dipermisalkan tidak melazimkan bolehnya perkara tersebut. (lihat fathul baari 4/223). Sebagai contoh dalam suatu Hadits Nabi bersabda,
مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قيام الليلة
“Barangsiapa yang sholat (Tarwih atau qiyamul lail) bersama imam sampai sang imama selesai maka akan dicatat baginya pahala sholat semalam suntuk”.
Hadits ini tidaklah menunjukan akan bolehnya sholat semalam suntuk dari ba’da isyaa’ langsung hingga subuh setiap hari tanpa tidur, karena Nabi telah menegur seorang sahabat yang berkata, “Aku akan sholat malam terus dan tidak tidur”, dengan perkataan beliau –shllallahu ‘alaihi wa salaam”, “Adapun aku maka aku sholat malam dan aku tidur… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku”
Kedua : Puasa dahr (setahun penuh tanpa berbuka) menyelisihi petunjuk Nabi. Nabi pernah menegur seseorang yang berkata, “Aku akan berpuasa terus tanpa berbuka” dengan perkataan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Aku puasa dan aku berbuka… dan barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka bukan dari golonganku”
Ketiga : Nabi bersabda kepada Abdullah bin ‘Amr,
صُم يوماً وأفطر يوماً، فذلك صيام داود عليه السلام، وهو أفضل الصيام
“Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Nabi Dawud –’alaihis salam- dan ini adalah puasa yang paling afdhol”
Hadits ini menunjukan bahwa puasa Dawud adalah yang paling utama bukan puasa dahr, kalau puasa dahr disyari’atkan tentunya puasa dahrlah yang lebih afdhol
Keempat : Sabda Nabi yang tegas, لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ “Tidaklah berpuasa orang yang puasa selama-lamanya”
Kelima : Puasa dahr bertentangan dengan agama islam yang memperhatikan keseimbangan dan perhatian terhadap hak tubuh dan hak keluarga, sebagaimana perkataan Salman kepada Abu Ad-Dardaa’ dan perkataannya ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حقًَّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حقًّا، وَلأهْلِكَ عَلَيْكَ حقاً، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Sesungguhnya Robmu memliki hak yang harus engkau tunaikan, edmikian juga dirimu punya hak, keluargamu juga punya hak, maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak haknya (Lihat Minhatul ‘Allaam syarh Bulugul Maroom 1/91)